Simbol-simbol Ritual yang sering digunakan dalam Selametan (wilujengan) Adat Jawa antara lain:
1. Tumpeng sejodho
Tumpeng sejodho ini biasanya dibuat dari
nasi putih yang berbentuk tumpeng atau seperti gunung yang berjumlah dua
(sepasang) dan bentuknya lebih kecil dari tumpeng yang lain. Arti dari tumpeng
sendiri dalam masyarakat Jawa sering disebut “metu dalan kang lempeng” yang diartikan bahwa manusia dalam
kehidupannya didunia diwajibkan melalui jalan yang lurus (lempeng) dan juga jalan yang benar,
seperti yang diajarkan oleh agama. Selain itu, tumpeng yang berbentuk seperti
gunung juga merupakan gambaran dari bidang-bidang kehidupan manusia dan puncak
dari tumpeng merupakan gambaran dari kekuasaan Tuhan yang bersifat
transendental. Arti lain dari “tumpeng sejodo” adalah pralambang Rwa Bhineda = loro-lorone atunggal, dan
juga sebagai pralambang Purusa dan Pradhana (sifat laki-laki dan perempuan)
serta mengingatkan kita bahwa Manu
dan Dewi Satarupa adalah manusia pertama
yang diciptakan oleh Hyang Widhi, dan merupakan cikal bakal manusia di Bumi
ini.
2. Tumpeng Robyong
Tumpeng robyong merupakan tumpeng dari
nasi putih yang pinggirnya dihiasi dengan daun-daunnan, antara lain daun dadap,
daun turi, dan sebagainya. Tumpeng robyong sebagai gambaran kesuburan dan
kesejahteraan. Tumbuh-tumbuhan ataupun sayur-sayuran yang dipakai untuk
kebutuhan hajat atau slametan tersebut diharapkan akan segera tumbuh kembali.
3. Tumpeng Gepak
Tumpeng gepak merupakan pralambang
dari “rojo koyo” yaitu
hewan-hewan peliharaan dari orang yang sedang melaksanakan hajat tersebut,
semoga hewan peliharaan tersebut dapat cepat beranak pinak, sehingga dapat
dipergunakan untuk membantu kehidupan manusia.
4. Ambengan
Ambengan adalah nasi putih yang
ditempatkan dalam wadah, wadahnya dapat berupa panci atau besek/encek.
Ambengan merupakan
gambaran dari bumi (tanah) sebagai tempat hidup dan kehidupan semua makhluk
ciptaan Tuhan baik itu manusia, hewan, tumbuhan, dan lainnya, yang harus dijaga
kelestariaannya, karena itu merupakan unsur yang penting dalam kehidupan semua
makhuk ciptaan Tuhan.
5. Ingkung
Ingkung adalah ayam yang dimasak
secara utuh setelah dibersihkan bulu dan kotorannya. Dalam penyajiannya ayam
diikat sehingga rapi, masyarakat jawa sering menyebutnya “diingkung” artinya ayamnya diikat/ditaleni. Ingkung
sebagai perlambang dalam beribadah/berbhakti, masyarakat jawa
sering memaknainya “manembaho ingkang linangkung” yang
berarti manusia dalam beribadah/berbahakti kepada Tuhan sebaiknya bersegeralah
dan beribadah/berbhaktilah dengan khusuk, seakan engkau akan mati besok. Dengan
makna tersebut manusia akan lebih khusuk lagi dalam beribadah/berbhakti kepada
Tuhannya. Selain itu, makna dari ayam yang diikat/ditaleni tadi adalah
mengambarkan bahwa manusia dalam kehidupannya sebaiknya mengendalikan hawa nafsunya
agar tidak berlebihan dan terlalu ambisius dalam berbagai bidang kehidupan.
Ingkung itu
artinya: ingkar.
Kenapa mesti ayam jago yang
dijadikan bahan bakunya, nah disinilah hal yang menarik. Ayam jago, yang setiap
hari kita kenal memiliki beberapa perilaku yang (nuwun sewu) kurang ajar. Begitu
bangun tidur dia selalu berkokok dengan tujuan untuk menujukkan kekuatan yang
dia miliki. Setelah bangun dan keluar untuk menikmati udara pagi si jago ini
selalu mencari mangsa, yaitu dengan mengejar-ngejar ayam babon hanya untuk
pelampiasan nafsu kejagoanya. Dan selepas itu dengan santainya meninggalkan
sang babon yang sudah diambil madunya di pagi hari. Hmmmm ….. (kurang ajar
banget tuh si jago).
Tidak hanya sebatas itu, setelah si
babon bertelor, …. Jago-pun tanpa perasaan bersalah tidak mau bertanggung jawab
terhadap hasil perbuatannya.
Bila jago itu bertemu sesama jago akan selalu
bertengkar sampai salah satu jago klenger dan menyerah tanpa syarat kepada jago
penguasa. uedann tenan kannn ….
Tujuan Ingkung dihadirkan dalam suatu prosesi
selametan/kenduri adalah sebagai perlambang atau kiasan bahwa kita sebagai
manusia untuk tidak ingkar /tidak mengikuti sifat-sifat yang dilakukan oleh
ayam jago. Dalam ajaran Jawa dikenal dengan MO LIMO, yaitu suatu perbuatan dosa
yang tidak boleh dikerjakan, yang jika dikerjakan akan terjerumus dalam jurang kenistaan.
Dosa Mo Limo yaitu:
1. Mabuk (suka mabuk karena minuman keras, mabuk
asmara, dll)
2. Main (suka berjudi)
3. Madat (Suka Nyabu)
4. Madon (Suka bermain perempuan)
5. Maling ( Suka Nyuri)
Mengapa harus diikat ? Ayam
jago memiliki sifat angkuh, merasa paling gagah dan paling cakep. Bahkan ayam
jago juga sok jagoan, merasa paling jago bertarung, mudah marah dan
menyelesaikan persoalan dengan kekerasan. Lihat saja bagaimana ayam jago
berjalan dengan membusungkan dadanya, tak mau akur dengan ayam jago lain,
'jegrak' jambul dan sayapnya bila berhadapan dengan jago lain yang juga sok
jagoan tak mau tunduk dihadapannya.
Selain sangat membanggakan
tajinya/jalunya, ayam jago juga salah satu makhluk yang doyan kawin. Perhatikan
bagaimana ayam jago hendak mendapatkan betina. Ayam jago akan pura-pura sok
dekat sok perhatian, pura-pura nunjukin ceceran makanan di tanah agar si-betina
mendekat. Setelah si-betina terlihat akrab dan mau mendekat buru si-jantan
langsung nangkring diatas tubuh si-betina melepas syahwatnya. Setelah itu,
masih pura-pura dekat sebentar kemudian ditinggalkan mencari si-betina lain.
Parahnya ada juga jago yang maksakan kehendak mengejar-ngejar si-betina hingga
lari terbirit-birit, setelah nangkring, lagi-lagi sok ngasih perhatian sok
romantis lalu ditinggal pergi begitu saja.
Ayam jago adalah gambaran makhluk egois, sombong, kasar, pengumbar hawa
nafsu, buaya darat, tak bertanggung jawab. Oleh karenanya ketika menjadi
ingkung akan diikat seluruh tubuhnya dan dibersihkan luar dalam. Diikat
'njungkung' seperti orang sujud sebagai simbol cita-cita manunggal.
Diwujudkan dengan selalu njungkung (bersujud), dan diperoleh dengan selalu
manekung, manembah, sumeleh, sujud kepada Tuhan.
Kita berharap agar sifat buruk ayam jago itu dibuang jauh-jauh, memaksa
diri sendiri untuk mengikat hawa nafsu hewani agar senantiasa manembah,
sumeleh, pasrah, rendah hati, merontokkan bulu-bulu kebanggaan, untuk
membersihkan jiwa dan raga. Itulah laki-laki sejati, laki-laki yang mampu
menahan diri mengikat hawa nafsu membersihkan jiwa raga, (njungkung)
merendahkan diri kehadapan Tuhan dan sesama manusia.
6. Jenang Palang
Jenang palang adalah nasi putih yang
dicampur dengan gula merah dan diatasnya diberi daun pandan yang dipalangkan
dan biasanya ditempatkan pada piring. Jenang palang merupakan penggambaran bahwa
dengan slametan tersebut diharapkan akan menghalangi “komo
sengkolo” atau
gangguan dan mala petaka yang sudah ada maupun gangguan yang akan datang, baik
itu gangguan dari manusia ataupun dari makhluk bawahan/bhuta kala.
7. Jenang Pliringan
Jenang pliringan merupakan pralambang
dari “kakang kawah adhi ari-ari”. Hal ini terkait dengan ajaran
mistik dalam masyarakat jawa bahwa setiap manusia memiliki empat saudara yang
dikenal dengan sebutan “kakang kawah adhi ari-ari”.
Sedangkan dua saudara yang lain adalah “rah” (darah) dan “puser” (tali
pusar). Keempat saudara tersebut dalam konteks Jawa dihayati sebagai “sing
ngemong awak” artinya
yang menjaga dan memelihara manusia, karenanya harus dihormati, tidak
disia-siakan, dan selalu “disapa” dalam setiap ritual slametan atau wilujengan.
8. Jenang Abang Putih
Jenang abang putih sebagai pralambang
terjadinya manusia yang melalui benih dari ibu yang dilambangkan dengan jenang
warna merah dan benih dari bapak yang dilambangkan dengan jenang warna putih.
Jenang ini terbuat dari nasi putih, untuk warna merah dalam penyajiannya nasi
putih dicampur dengan gula merah dan untuk yang satunya nasi putih disajikan
secara utuh.
9. Jenang Baro-baro
Jenang baro-baro merupakan perlambang
dari kehidupan mikrokosmos, artinya selain manusia yang hidup dibumi ini ada
makhluk hidup lain yang diciptakan oleh Tuhan dan hidup berdampingan dengan
manusia itu sendiri, yang keberadaannya sering terlupakan karena memang
ukurannya yang tak dapat terlihat oleh mata secara sekilas yaitu hewan-hewan
yang ukurannya serba kecil seperti misalnya semut, kutu, belalang, nyamuk,
lalat, dan masih banyak lagi, yang kehidupan mereka juga mendukung kelangsungan
ekosistem di bumi ini. Atas dasar itu, masyarakat jawa menyedekahi bangsa “kutu-kutu
walang atogo” sebagai
rasa kepedulian terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
10. Jajan Pasar
Jajan pasar sebagai perlambang dari sesrawungan atau hubungan kemanusiaan, silaturahmi/anjangsana
antar sesama manusia. Hal ini diasosiasikan bahwa pasar adalah tempat
bermacam-macam barang dan bermacam-macam manusia, seperti dalam jajan pasar ada
buah-buahan, makanan kecil, sekar setaman, rokok dan sebagainya. Dalam jajan
pasar juga sering ada uang dalam bentuk “ratusan” yang dalam bahasa jawa
“satus”, yang merupakan simbol dari sat atau “asat” yang berarti habis dan “atus” yang berarti bersih. Hal ini
dapat diartikan bahwa manusia dalam beribadah/berbhakti kepada Tuhan untuk
membersihkan diri dari dosa hendaknya dilakukan sampai benar-benar bersih
sehingga ketika mereka kembali kepada Sang Pencipta sudah dalam keadaan
benar-benar bersih.
10. Dhem-dheman
Dhem-dheman ini terbuat dari daun “dadap srep” yang direndam air dalam suatu wadah.
Dhem-dheman merupakan lambang dari ketentraman, dengan diadakannya slametan dhem-dheman
diharapkan kehidupan manusia atau orang yang menyelenggarakan hajatan tersebut
akan “adhem ayem toto titi
temtrem” yaitu
tenang, tentram, dan damai tidak ada suatu halangan apapun dalam menghadapi
kehidupan.
11. Telur, sebagai lambang dari “wiji dadi” atau benih terjadinya manusia.
12. Kecambah/capar, simbol dari benih dan bakal manusia yang akan selalu tumbuh seperti
kecambah/capar.
13. Kacang Panjang, dalam kehidupan sehari-hari semestinya manusia selalu berpikir
panjang (nalar kang mulur) dan
jangan memikirkan pikiran yang picik, sehingga akan selalu dapat menanggapi
segala hal dan keadaan dengan penuh kesadaran dan bijaksana.
14. Tomat, kesadaran akan menimbulkan
perbuatan yang gemar
“mad-sinamadan” dan berupaya menjadi “jalma
limpat seprapat tamat”. Manusai
dalam menjalani kehidupannya diharapkan dapat selalu cermat dalam berbagai
bidang kehidupan dan diharapkan dapat selalu paham situasi yang sedang terjadi
maupun kejadian yang sedang dihadapinya dan dapat mengikutinya.
15. Kangkung, manusia diharapkan termasuk sebagai manusia yang linangkung atau manusia yang mempunyai kelebihan
dalam bidang apapun.
16. Kupat Lepet, dalam menyelenggarakan selamatan dan perbuatan yang dilakukan
setiap hari tentunya tidak luput dari kesalahan (lepat)
/ ngaku lepat artinya mengakui kesalahan, untuk itu semoga Tuhan selalu
memberikan ampunan segala kesalahan dan dosa-dosa yang telah diperbuat. Yang
selanjutnya semua dosa dan kesalahan yang telah diampuni agar disimpan dengan
rapat (disilep kang rapet) agar tidak
diungkit-ungkit lagi.
17. Pisang, yang dalam bahasa jawa disebut “gedang” merupakan pralambang dari etika
kehidupan, diharapkan orang yang melakukan hajat tersebut ataupun manusia pada
umumnya dapat mencontoh watak pisang yang dapat hidup dimana saja (ajur
ajer), dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Disamping itu
bagian dari tanaman pisang juga sangat banyak manfaatnya, mulai dari daunnya,
batang pohon, buahnya sendiri dan masih banyak yang lainnya. Selain itu, pisang (gedang) sering juga dimaknai sebagai “gumreget
nyuwun pepadhang” artinya
manusia dalam menjalani kehidupannya diharapkan selalu meminta petunjuk hanya
kepada Tuhan dalam keadaan atau situasi apapun.
18.
Ketan, Kolak, Apem.
Sebagai perlambang
persahabatan yang erat (ketan = keraketan) bagaikan nasi ketan yang
lengket (raket) sulit dipisahkan.
Kolak (kekoncoan nganggo akhlak) sebagai
perlambang dalam persahabatan harus disertai dengan akhlak, sehingga dalam
kehidupannya bisa terwujud rasa Ayem
jenjem permanem (Apem).
19. Pembakaran kemenyan/pasepan sebagai sarana “lantaran”, setelah semua “ubarampe” atau piranti slametan dihaturkan atau
dikemukakan maksud dan tujuan diadakannya slametan tersebut oleh sesepuh
setempat, biasanya ditutup dengan berdoa dan membakar kemenyan, hal ini
dimaknai sebagai sarana terkabulnya doa-doa yang diinginkan. Pembakaran
kemenyan dalam tradisi masyarakat Jawa sering dimaknai sebagai “talining iman/kapercayan, urubing cahya kumara, kukuse kumelun
ngantariksa ngambah Swarga, ingkang nampi Dzat ingkang Maha Kuwoso”, artinya bahwa slametan
yang dilaksanakan tersebut diharapkan akan lebih meningkatkan keimanan/sradha
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa bagi keluarga yang melaksanakan maupun bagi
seluruh manusia pada umumnya. Selain itu, niat dari slametan atau tujuan
diadakannya hajatan itu digambarkan seperti “urubing
cahya kumara” yaitu
seperti api yang berkobar-kobar, berharap bahwa tujuannya segera tercapai,
sedangkan asap (kukus) dari kemenyan dimaknai akan membawa/mengantarkan
doa-doa yang dihaturkan terbang sampai ke Swarga dan dapat direstui dan
dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Semoga
ada manfaatnya.
Dihimpun
dari berbagai sumber.
Oleh
: Mbah Dharmo.
www.mbahdharmo2013@gmail.com