Selasa, 10 April 2018

Arti dan Makna Simbol-simbol Ritual dalam Selamatan Adat Jawa.

Simbol-simbol Ritual yang sering digunakan dalam Selametan (wilujengan) Adat Jawa antara lain:

1. Tumpeng sejodho
Tumpeng sejodho ini biasanya dibuat dari nasi putih yang berbentuk tumpeng atau seperti gunung yang berjumlah dua (sepasang) dan bentuknya lebih kecil dari tumpeng yang lain. Arti dari tumpeng sendiri dalam masyarakat Jawa sering disebut “metu dalan kang lempeng” yang diartikan bahwa manusia dalam kehidupannya didunia diwajibkan melalui jalan yang lurus (lempeng) dan juga jalan yang benar, seperti yang diajarkan oleh agama. Selain itu, tumpeng yang berbentuk seperti gunung juga merupakan gambaran dari bidang-bidang kehidupan manusia dan puncak dari tumpeng merupakan gambaran dari kekuasaan Tuhan yang bersifat transendental. Arti lain dari “tumpeng sejodo” adalah pralambang Rwa Bhineda = loro-lorone atunggal, dan juga sebagai pralambang Purusa dan Pradhana (sifat laki-laki dan perempuan) serta mengingatkan kita bahwa Manu dan Dewi Satarupa adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Hyang Widhi, dan merupakan cikal bakal manusia di Bumi ini.

2. Tumpeng Robyong
Tumpeng robyong merupakan tumpeng dari nasi putih yang pinggirnya dihiasi dengan daun-daunnan, antara lain daun dadap, daun turi, dan sebagainya. Tumpeng robyong sebagai gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Tumbuh-tumbuhan ataupun sayur-sayuran yang dipakai untuk kebutuhan hajat atau slametan tersebut diharapkan akan segera tumbuh kembali.

3. Tumpeng Gepak
Tumpeng gepak merupakan pralambang dari “rojo koyo” yaitu hewan-hewan peliharaan dari orang yang sedang melaksanakan hajat tersebut, semoga hewan peliharaan tersebut dapat cepat beranak pinak, sehingga dapat dipergunakan untuk membantu kehidupan manusia.

4. Ambengan
Ambengan adalah nasi putih yang ditempatkan dalam wadah, wadahnya dapat berupa panci atau besek/encek. Ambengan merupakan gambaran dari bumi (tanah) sebagai tempat hidup dan kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan baik itu manusia, hewan, tumbuhan, dan lainnya, yang harus dijaga kelestariaannya, karena itu merupakan unsur yang penting dalam kehidupan semua makhuk ciptaan Tuhan.

5. Ingkung
Ingkung adalah ayam yang dimasak secara utuh setelah dibersihkan bulu dan kotorannya. Dalam penyajiannya ayam diikat sehingga rapi, masyarakat jawa sering menyebutnya “diingkung” artinya ayamnya diikat/ditaleni. Ingkung sebagai perlambang dalam beribadah/berbhakti, masyarakat jawa sering memaknainya “manembaho ingkang linangkung” yang berarti manusia dalam beribadah/berbahakti kepada Tuhan sebaiknya bersegeralah dan beribadah/berbhaktilah dengan khusuk, seakan engkau akan mati besok. Dengan makna tersebut manusia akan lebih khusuk lagi dalam beribadah/berbhakti kepada Tuhannya. Selain itu, makna dari ayam yang diikat/ditaleni tadi adalah mengambarkan bahwa manusia dalam kehidupannya sebaiknya mengendalikan hawa nafsunya agar tidak berlebihan dan terlalu ambisius dalam berbagai bidang kehidupan.
Ingkung itu artinya: ingkar.

Kenapa mesti ayam jago yang dijadikan bahan bakunya, nah disinilah hal yang menarik. Ayam jago, yang setiap hari kita kenal memiliki beberapa perilaku yang (nuwun sewu) kurang ajar. Begitu bangun tidur dia selalu berkokok dengan tujuan untuk menujukkan kekuatan yang dia miliki. Setelah bangun dan keluar untuk menikmati udara pagi si jago ini selalu mencari mangsa, yaitu dengan mengejar-ngejar ayam babon hanya untuk pelampiasan nafsu kejagoanya. Dan selepas itu dengan santainya meninggalkan sang babon yang sudah diambil madunya di pagi hari. Hmmmm ….. (kurang ajar banget tuh si jago).

Tidak hanya sebatas itu, setelah si babon bertelor, …. Jago-pun tanpa perasaan bersalah tidak mau bertanggung jawab terhadap hasil perbuatannya.
Bila jago itu bertemu sesama jago akan selalu bertengkar sampai salah satu jago klenger dan menyerah tanpa syarat kepada jago penguasa. uedann tenan kannn ….
Tujuan Ingkung dihadirkan dalam suatu prosesi selametan/kenduri adalah sebagai perlambang atau kiasan bahwa kita sebagai manusia untuk tidak ingkar /tidak mengikuti sifat-sifat yang dilakukan oleh ayam jago. Dalam ajaran Jawa dikenal dengan MO LIMO, yaitu suatu perbuatan dosa yang tidak boleh dikerjakan, yang jika dikerjakan akan terjerumus dalam jurang kenistaan.

Dosa Mo Limo yaitu:
1. Mabuk (suka mabuk karena minuman keras, mabuk asmara, dll)
2. Main (suka berjudi)
3. Madat (Suka Nyabu)
4. Madon (Suka bermain perempuan)
5. Maling ( Suka Nyuri)

Mengapa harus diikat ? Ayam jago memiliki sifat angkuh, merasa paling gagah dan paling cakep. Bahkan ayam jago juga sok jagoan, merasa paling jago bertarung, mudah marah dan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan. Lihat saja bagaimana ayam jago berjalan dengan membusungkan dadanya, tak mau akur dengan ayam jago lain, 'jegrak' jambul dan sayapnya bila berhadapan dengan jago lain yang juga sok jagoan tak mau tunduk dihadapannya.

Selain sangat membanggakan tajinya/jalunya, ayam jago juga salah satu makhluk yang doyan kawin. Perhatikan bagaimana ayam jago hendak mendapatkan betina. Ayam jago akan pura-pura sok dekat sok perhatian, pura-pura nunjukin ceceran makanan di tanah agar si-betina mendekat. Setelah si-betina terlihat akrab dan mau mendekat buru si-jantan langsung nangkring diatas tubuh si-betina melepas syahwatnya. Setelah itu, masih pura-pura dekat sebentar kemudian ditinggalkan mencari si-betina lain. Parahnya ada juga jago yang maksakan kehendak mengejar-ngejar si-betina hingga lari terbirit-birit, setelah nangkring, lagi-lagi sok ngasih perhatian sok romantis lalu ditinggal pergi begitu saja.

Ayam jago adalah gambaran makhluk egois, sombong, kasar, pengumbar hawa nafsu, buaya darat, tak bertanggung jawab. Oleh karenanya ketika menjadi ingkung akan diikat seluruh tubuhnya dan dibersihkan luar dalam. Diikat 'njungkung' seperti orang sujud sebagai simbol  cita-cita manunggal. Diwujudkan dengan selalu njungkung (bersujud), dan diperoleh dengan selalu manekung, manembah, sumeleh, sujud kepada Tuhan.
Kita berharap agar sifat buruk ayam jago itu dibuang jauh-jauh, memaksa diri sendiri untuk mengikat hawa nafsu hewani agar senantiasa manembah, sumeleh, pasrah, rendah hati, merontokkan bulu-bulu kebanggaan, untuk membersihkan jiwa dan raga. Itulah laki-laki sejati, laki-laki yang mampu menahan diri mengikat hawa nafsu membersihkan jiwa raga, (njungkung) merendahkan diri kehadapan Tuhan dan sesama manusia.
6. Jenang Palang
Jenang palang adalah nasi putih yang dicampur dengan gula merah dan diatasnya diberi daun pandan yang dipalangkan dan biasanya ditempatkan pada piring. Jenang palang merupakan penggambaran bahwa dengan slametan tersebut diharapkan akan menghalangi “komo sengkolo” atau gangguan dan mala petaka yang sudah ada maupun gangguan yang akan datang, baik itu gangguan dari manusia ataupun dari makhluk bawahan/bhuta kala.

7. Jenang Pliringan
Jenang pliringan merupakan pralambang dari “kakang kawah adhi ari-ari”. Hal ini terkait dengan ajaran mistik dalam masyarakat jawa bahwa setiap manusia memiliki empat saudara yang dikenal dengan sebutan “kakang kawah adhi ari-ari”. Sedangkan dua saudara yang lain adalah “rah” (darah) dan “puser” (tali pusar). Keempat saudara tersebut dalam konteks Jawa dihayati sebagai “sing ngemong awak” artinya yang menjaga dan memelihara manusia, karenanya harus dihormati, tidak disia-siakan, dan selalu “disapa” dalam setiap ritual slametan atau wilujengan.

8. Jenang Abang Putih
Jenang abang putih sebagai pralambang terjadinya manusia yang melalui benih dari ibu yang dilambangkan dengan jenang warna merah dan benih dari bapak yang dilambangkan dengan jenang warna putih. Jenang ini terbuat dari nasi putih, untuk warna merah dalam penyajiannya nasi putih dicampur dengan gula merah dan untuk yang satunya nasi putih disajikan secara utuh.

9. Jenang Baro-baro
Jenang baro-baro merupakan perlambang dari kehidupan mikrokosmos, artinya selain manusia yang hidup dibumi ini ada makhluk hidup lain yang diciptakan oleh Tuhan dan hidup berdampingan dengan manusia itu sendiri, yang keberadaannya sering terlupakan karena memang ukurannya yang tak dapat terlihat oleh mata secara sekilas yaitu hewan-hewan yang ukurannya serba kecil seperti misalnya semut, kutu, belalang, nyamuk, lalat, dan masih banyak lagi, yang kehidupan mereka juga mendukung kelangsungan ekosistem di bumi ini. Atas dasar itu, masyarakat jawa menyedekahi bangsa “kutu-kutu walang atogo” sebagai rasa kepedulian terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

10. Jajan Pasar
Jajan pasar sebagai perlambang dari sesrawungan atau hubungan kemanusiaan, silaturahmi/anjangsana antar sesama manusia. Hal ini diasosiasikan bahwa pasar adalah tempat bermacam-macam barang dan bermacam-macam manusia, seperti dalam jajan pasar ada buah-buahan, makanan kecil, sekar setaman, rokok dan sebagainya. Dalam jajan pasar juga sering ada uang dalam bentuk “ratusan” yang dalam bahasa jawa  “satus”, yang merupakan simbol dari sat atau “asat” yang berarti habis dan “atus” yang berarti bersih. Hal ini dapat diartikan bahwa manusia dalam beribadah/berbhakti kepada Tuhan untuk membersihkan diri dari dosa hendaknya dilakukan sampai benar-benar bersih sehingga ketika mereka kembali kepada Sang Pencipta sudah dalam keadaan benar-benar bersih.

10. Dhem-dheman
Dhem-dheman ini terbuat dari daun “dadap srep” yang direndam air dalam suatu wadah.
Dhem-dheman merupakan lambang dari ketentraman, dengan diadakannya slametan dhem-dheman diharapkan kehidupan manusia atau orang yang menyelenggarakan hajatan tersebut akan “adhem ayem toto titi temtrem” yaitu tenang, tentram, dan damai tidak ada suatu halangan apapun dalam menghadapi kehidupan. 

11. Telur, sebagai lambang dari “wiji dadi” atau benih terjadinya manusia.
12. Kecambah/capar, simbol dari benih dan bakal manusia yang akan selalu tumbuh seperti kecambah/capar.

13. Kacang  Panjang, dalam  kehidupan sehari-hari  semestinya  manusia  selalu  berpikir panjang (nalar kang mulur) dan jangan memikirkan pikiran yang picik, sehingga akan selalu dapat menanggapi segala hal dan keadaan dengan penuh kesadaran dan bijaksana.

14. Tomat,  kesadaran  akan  menimbulkan  perbuatan  yang  gemar  “mad-sinamadan”  dan berupaya menjadi “jalma limpat seprapat tamat”. Manusai dalam menjalani kehidupannya diharapkan dapat selalu cermat dalam berbagai bidang kehidupan dan diharapkan dapat selalu paham situasi yang sedang terjadi maupun kejadian yang sedang dihadapinya dan dapat mengikutinya.

15. Kangkung, manusia diharapkan termasuk sebagai manusia yang linangkung atau manusia yang mempunyai kelebihan dalam bidang apapun.

16. Kupat Lepet, dalam menyelenggarakan selamatan dan perbuatan yang dilakukan setiap hari tentunya tidak luput dari kesalahan (lepat) / ngaku lepat artinya mengakui kesalahan, untuk itu semoga Tuhan selalu memberikan ampunan segala kesalahan dan dosa-dosa yang telah diperbuat. Yang selanjutnya semua dosa dan kesalahan yang telah diampuni agar disimpan dengan rapat (disilep kang rapet) agar tidak diungkit-ungkit lagi.

17. Pisang, yang dalam bahasa jawa disebut “gedang” merupakan pralambang dari etika kehidupan, diharapkan orang yang melakukan hajat tersebut ataupun manusia pada umumnya dapat mencontoh watak pisang yang dapat hidup dimana saja (ajur ajer), dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Disamping itu bagian dari tanaman pisang juga sangat banyak manfaatnya, mulai dari daunnya, batang pohon, buahnya sendiri dan masih banyak yang lainnya. Selain itu, pisang (gedang) sering juga dimaknai sebagai “gumreget nyuwun pepadhang” artinya manusia dalam menjalani kehidupannya diharapkan selalu meminta petunjuk hanya kepada Tuhan dalam keadaan atau situasi apapun.

18. Ketan, Kolak, Apem.
Sebagai perlambang persahabatan yang erat (ketan = keraketan) bagaikan nasi ketan yang lengket (raket) sulit dipisahkan. Kolak (kekoncoan nganggo akhlak) sebagai perlambang dalam persahabatan harus disertai dengan akhlak, sehingga dalam kehidupannya bisa terwujud rasa Ayem jenjem permanem (Apem).
19. Pembakaran kemenyan/pasepan sebagai sarana “lantaran”, setelah semua “ubarampe” atau piranti slametan dihaturkan atau dikemukakan maksud dan tujuan diadakannya slametan tersebut oleh sesepuh setempat, biasanya ditutup dengan berdoa dan membakar kemenyan, hal ini dimaknai sebagai sarana terkabulnya doa-doa yang diinginkan. Pembakaran kemenyan dalam tradisi masyarakat Jawa sering dimaknai sebagai “talining iman/kapercayan, urubing cahya kumara, kukuse kumelun ngantariksa ngambah Swarga, ingkang nampi Dzat ingkang Maha Kuwoso”,  artinya bahwa slametan yang dilaksanakan tersebut diharapkan akan lebih meningkatkan keimanan/sradha kepada Tuhan Yang Maha Kuasa bagi keluarga yang melaksanakan maupun bagi seluruh manusia pada umumnya. Selain  itu, niat dari slametan atau tujuan diadakannya hajatan itu digambarkan seperti “urubing cahya kumara” yaitu seperti api yang berkobar-kobar, berharap bahwa tujuannya segera tercapai, sedangkan asap (kukus) dari kemenyan dimaknai akan membawa/mengantarkan doa-doa yang dihaturkan terbang sampai ke Swarga dan dapat direstui dan dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Semoga ada manfaatnya.
Dihimpun dari berbagai sumber.
Oleh : Mbah Dharmo.

www.mbahdharmo2013@gmail.com